my family

Apa yang ingin anda cari

Selasa, 29 September 2009

Laporan Bulanan Program WISMP Cianjur

Saya Sebagai Tenaga Pendamping WISMP yang bertugas di wilayah DI Cipadang-Cibeleng mempunyai tugas untuk melaporkan kegiatan yang telah dilaksanakan selama satu bulan terakhir. Berikut ini laporan pada bulan September 2009.


LAPORAN BULAN SEPTEMBER
PROFIL SOSIAL EKONOMI

I.            PENDAHULUAN
Tujuan dari program WISMP adalah kemandirian masyarakat dalam pengelolaan irigasi. Kemandirian masyarakat dalam pengelolaan irigasi menjadi hal yang mustahil jika para petani tidak atau belum mandiri dari segi sosial maupun ekonominya. Kemapanan di bidang ekonomi akan mendorong para petani untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan hidupnya, dengan cara menyekolahkan anaknya ketingkat yang lebih tinggi, menghidupi keluarga dengan yang lebih layak, dan lain-lain. Dengan demikian masyarakat dapat mengurangi hambatan dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Diharapkan ipair akan menjadi lebih lancar, gotong royong dapat dilaksanakan tanpa beban dan sebagainya.

I.            TUJUAN
Tujuan dilaksanakannya kegiatan pendataan  mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat petani (P3A) adalah sebagai berikut:
1.      Dapat mengetahui/ mengidentifikasi keadaan sosial ekonomi masyarakat dengan sebenarnya, sesuai dengan kondisi sesungguhnya di lapangan.
2.      Mengetahui akar masalah terhambatnya kegiatan partisipasi masyarakat khususnya di bidang irigasi (WISMP)
3.      Membuat rencana kerja TPM dan P3A serta GP3A yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

II.        LINGKUP KEGIATAN
Lingkup kegiatan pada bulan September ini adalah kegiatan pendampingan yang dikhususkan untuk kegiatan pengambilan data tentang keadaan sosial dan ekonomi petani P3A DI Cipadang-Cibeleng dengan cakupan wilayah 3 Kecamatan yaitu Gekbrong, Warungkondang dan Cilaku dan 12 Desa yaitu Desa Cikancana, Cisarandi, Sukamulya, Jambudipa, Ciendeur, Ciwalen, Bunisari, Sukawangi, Cikaroya, Rancagoong, Sukasari, Sirnagalih dengan lebih dari 8500 orang petani, terdiri 12 P3A dan 2 GP3A. Selain mendata tentang sosial ekonomi masyarakat, TPM juga melakukan advokasi atau pendampingan di bidang ekonomi walaupun hanya dengan memberikan saran atau motivasi juga informasi terhadap para petani/ pengurus P3A dan GP3A.

III.     PELAKSANAAN VERIFIKASI SOSIAL EKONOMI
a.     Aspek Sosial
1.     Data Kepemilikan Lahan
Dari total wilayah pelayanan DI Cipadang Cibeleng yaitu seluas 1792 Ha, hak kepemilikan lahan di dominasi oleh pemilik/ penduduk diluar wilayah Cilaku, Warungkondang dan Gekbrong. Artinya mayoritas masyarakat di DI Cipadang Cibeleng hanya sebagai petani penggarap saja. Dengan perbandingan sebagai berikut :
a.      Petani Penggarap sekitar 55%
b.     Pemilik 15%
c.      Pemilik sekaligus penggarap 25%
d.     Penyewa 5%

2.     Hubungan Kemasyarakatan
Hubungan kemasyarakatan antara petani yang ada di hulu, tengah dan hilir terjalin baik walaupun terkadang terjadi konflik khususnya komplain dari petani di wilayah hilir karena sering tidak kebagian air. Dengan adanya masalah tersebut seringkali hubungan antar warga menjadi tidak harmonis, yang mengakibatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemeliharaan menjadi sangat kurang.

3.     Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat/ petani anggota P3A di wilayah DI Cipadang-Cibeleng sangat rendah, yaitu 80% lulusan SR atau SD, sisanya petani yang lebih muda dengan tingkat pendidikan relative yang lebih tinggi SMP atau SMA.

4.     Tingkat Keswadayaan
Tingkat keswadayaan masyarakat/ petani anggota P3A di DI Cipadang-Cibeleng, sudah sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya kegiatan pemeliharaan atas inisiatif warga, atau banyaknya oncoran liar atau banyaknya pintu air yang hilang atau tingkat partisipasi kegiatan irigasi yang masih sangat rendah.




b.     Aspek Ekonomi
1.     Struktur Mata Pencaharian
Struktur mata pencaharian para petani anggota P3A di wilayah DI Cipadang-Cibeleng 90% adalah petani murni, artinya tidak mempunyai pekerjaan lain selain bertani. Sisanya yang 10% mempunyai pekerjaan lain seperti pegawai negeri, pegawai Desa, atau pekerjaan lainnya.
Karena kepemilikan lahan yang sangat sedikit, yaitu setiap petani rata-rata 2000m2 (2 atau 3 petak lahan sawah) dengan rata-rata penghasilan 2,4 juta per panen atau kira-kira pendapatan perbulan sebesar Rp.800.000 sebagai catatan hasil ini belum dipotong dengan biaya produksi (sekitar 70% atau sebesar Rp.560.000,00) jadi pendapatan petani hanya sebesar Rp.240.000,00 per bulan.
Hal ini disebabkan oleh banyak hal, diantaranya penanganan pada saat menanam tidak optimal, penanganan pemeliharaan yang tidak sesuai dengan aturan dan penanganan pada saat panen serta penanganan pasca panen yang tidak baik.
Masalah pertanian lainnya yang tidak boleh dilupakan adalah usia petani. Usia para petani rata-rata di atas 45 tahun, sangat jarang sekali apabila petaninya adalah seorang pemuda.

2.     Potensi Sumber Daya Lokal dan Usaha Ekonomi Produktif
Karena di DI Cipadang Cibeleng hampir semua petani melakukan penanaman dengan pola padi – padi – padi, maka jarang sekali petani yang melakukan penanaman tanaman sela seperti palawija. Sebenarnya apabila petani melakukan penanaman tanaman sela palawija seperti jagung, kedelai atau sayuran, maka pendapatan mereka dapat ditingkatkan.
Potensi lain yang dapat dikembangkan adalah mina padi, yaitu memelihara ikan pada saat awal menanam padi sampai bulan berikutnya. Penghasilan yang dapat diperoleh dari mina padi ini, akan cukup membantu menambah penghasilan mereka. Dengan modal Rp. 17.500,00 dalam waktu 1 bulan mereka dapat penghasilan sebesar Rp.87.500,00 atau pendapatan bersih sebesar Rp.70.000,00.
Potensi besar yang mungkin dapat dikembangkan adalah menanam padi Pandanwangi, sejenis varietas local yang sudah terkenal dan hanya dapat ditanam di 6 wilayah di kabupaten Cianjur, yaitu Warungkondang, Gekbrong, Cugenang, Cilaku, Cianjur dan Cikalong. Tetapi banyak petani yang tidak mau membudidayakan varietas unggul ini karena masa tanam yang lama (6 bulan), padahal harga jual beras pandanwangi mencapai Rp.12.500,00/kg, tiga kali lipat harga beras jenis medium.
Varietas lainnya yang berpotensi dikembangkan adalah jenis pandanputri, varietas ini mempunyai karakter yang hampir sama dengan pandan wangi tetapi dengan masa tanam yang lebih singkat yaitu 3 bulan.   

C. Permasalahan
Dari data di atas, dapat kita lihat bahwa masalah yang muncul adalah sebagai berikut:
A. Sosial
1.     Kepemilikan Lahan/ status petani; sangat sedikitnya kepemilikan lahan yang dimiliki oleh petani setempat (masyarakat lokal), kebanyakan dari mereka adalah hanya sebagai petani penggarap (buruh tani).
2.     Hubungan kemasyarakatan; Kurang harmonisnya hubungan kemasyarakatan antara petani di hulu, tengah dan hilir.
3.     Tingkat Pendidikan; Mayoritas petani anggota P3A adalah lulusan SD atau tidak tamat SD, minimnya pengetahuan petani (diluar budidaya (secara turun temurun)) mengakibatkan kurangnya kreatif dalam mencari solusi jika terjadi suatu masalah
4.     Tingkat keswadayaan; Tingkat partisipasi masyarakat yang masih sangat kurang
B.  Ekonomi
1.     Struktur Mata Pencaharian; Struktur mata pencaharian para petani anggota P3A di wilayah DI Cipadang-Cibeleng 90% adalah petani murni, artinya tidak mempunyai pekerjaan lain selain bertani (atau buruh tani).
2.     Tingkat produktifitas hasil usaha tani; Masih rendahnya tingkat produktifitas hasil pertanian yaitu baru sekitas rata-rata 4-5 ton/ Ha
3.     Tingkat pendapatan petani; karena produktifitas masih rendah, maka pengaruhnya adalah rendahnya pendapatan petani
4.     Potensi Sumber Daya Lokal dan Usaha Ekonomi Produktif; Karena di DI Cipadang Cibeleng hampir semua petani melakukan penanaman dengan pola padi – padi – padi, maka jarang sekali petani yang melakukan penanaman tanaman sela seperti palawija. Sebenarnya apabila petani melakukan penanaman tanaman sela palawija seperti jagung, kedelai atau sayuran, maka pendapatan mereka dapat ditingkatkan.

D.  Analisis Masalah dan alternatif Solusi
·        Kepemilikan lahan yang sangat terbatas dan struktur mata pencaharian bagi para petani, merupakan masalah yang sangat mendasar, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap skala usaha pertanian. Menurut Prof. Bustanul Arifin, seorang guru besar pertanian dari Universitas Lampung, beliau mengatakan bahwa luas lahan pertanian yang layak untuk skala usaha adalah 2 Ha/ petani. Maka kalau kita bandingkan dengan data kepemilikan lahan dan struktur mata pencaharian masyarakat anggota P3A yang ada di wilayah pelayanan DI Cipadang Cibeleng yang hanya sebagai petani penggarap (buruh tani) dengan penghasilan sekitar Rp.15.000 / hari atau petani petani pemilik dan penggarap yang rata-rata hanya mempunyai 2000 m2 yang rata-rata pendapatan per bulannya sama dengan buruh taninya. Adapun penyebab minimya kepemilikan lahan tersebut diantaranya karena pola pikir masyarakat pedesaan yang sederhana dan tidak berfikir jauh ke depan, contoh; mereka lebih puas ketika mereka harus menjual lahan pertaniannya (walaupun dengan harga murah) untuk ongkos naik haji atau mereka menjual lahan sawahnya karena ada pengembang yang memberi harga jual yang sedikit lebih tinggi dari harga pasaran atau yang lebih ironis lagi ketika petani harus menjual sawahnya untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-harinya dan masih banyak lagi sebab lainnya. Hal ini menggambarkan keadaan petani (sebenarnya tidak layak disebut petani) kita yang sangat menghawatirkan yang perlu mendapatkan pendampingan/ pemahaman yang baik dan benar dari pemerintah untuk tetap mempertahankan luas lahan pertanian (sawah). Solusi yang bisa diambil untuk menangani masalah ini menurut pendapat kami adalah : Pemerintah harus membuat aturan yang jelas mengenai peruntukan lahan pertanian yang tidak boleh dialih-fungsikan (lahan abadi pertanian) bahkan pemerintah ke depan harus mempunyai perencanaan yang jelas untuk menambah luas lahan pertanian. Ketika Petani (terlanjur) mempunyai lahan yang terbatas, hal ini hanya bisa dengan cara merekayasa cara budidaya/ penanganan yaitu dengan cara intensifikasi dan super-intensifikasi. Cara Intensifikasi misalnya dengan pemilihan bibit unggul dan pemupukan yang berimbang (tepat jumlah dan tepat waktu) atau menggunakan sistem SRI adapun cara super-intensifikasi dengan cara lebih mengintensifkan cara persiapan budidaya, cara budidaya , waktu panen dan penanganan pasca panen. Sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi petani dibanding cara konvensional.
·        Hubungan kemasyarakatan antar petani pemakai air  dan tingkat keswadayaan yang rendah diakibatkan oleh kecemburuan dari petani pemakai air yang tidak/ kurang mendapatkan pembagian air (di bagian hilir) terhadap petani yang berada di hulu. Ketidak puasan ini lebih disebabkan kurangnya komunikasi dan kepedulian sebagian pemakai air terhadap yang lainnya. Juga disebabkan oleh tidak berjalannya OP secara baik dan benar. Tingkat kerusakan bangunan dan jaringan irigasi juga turut menyumbang terganggunya stabilitas hubungan antar pemakai air. Solusi yang bisa meminimalkan ketidakharmonisan ini adalah dengan cara; (1) menghidupkan alur komunikasi antar pemakai air (anggota P3A) dan P3A dengan pemerintah melalui dinas terkait (PSDA dan Pertanian), (2) Melibatkan P3A dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan rehabilitasi dan OP serta dalam kegiatan monitoring dan evaluasi, (3) meningkatkan kegiatan usaha tani anggota P3A, (4) meningkatkan kepedulian dan pemahaman para pemakai air dengan cara kegiatan pelatihan-pelatihan dan sosialisasi kepada semua stakeholders.
·        Tingkat pendidikan yang rendah, lebih disebabkan karena para petani mayoritas berumur di atas 45 tahun, sangat jarang petani-petani yang berusia muda. Masyarakat yang usianya di bawah 45 tahun, lebih senang jadi pegawai, pedagang atau pekerjaan lainnya. Sebetulnya di bidang ilmu pertanian (budidaya) petani sudah lebih faham dan ahli, hanya saja mereka butuh bimbingan dan arahan yang tepat dengan di adakannya pelatihan secara yang intensif contoh dengan di adakannya SL-PTT dan atau diadakannya pembinaan terhadap para pemuda untuk menjadi taruna tani sehingga siap jadi kader petandu atau generasi penerus dibidang pertanian.
 

 IV.      Penutup
Kegiatan yang kami lakukan pada bulan September ini, merupakan kegiatan yang berkelanjutan dalam proses pemutakhiran data tentang keadaan sosial ekonomi masyarakat anggota P3A/ GP3A DI Cipadang-Cibeleng  dari PSETK tahun lalu. Semoga laporan yang kami sajikan ini bermanfaat untuk keberlanjutan pembangunan/ pemberdayaan masyarakat petani pemakai air khususnya dibidang irigasi di Kab Cianjur dan Prov Jawa Barat.

1 komentar:

omyosa mengatakan...

MARI…..
“KITA BUAT PETANI TERSENYUM . KETIKA PANEN TIBA”. .

Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia.
NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) hingga sekarang.
Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an. Capaian produksi padi saat itu bisa 6 -- 8 ton/hektar.

Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin rusak, semakin keras dan menjadi tidak subur lagi. Sawah-sawah kita sejak 1990 hingga sekarang telah mengalami penurunan produksi yang sangat luar biasa dan hasil akhir yang tercatat rata-rata nasional hanya tinggal 3, 8 ton/hektar (statistik nasional 2010).
Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.

System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) beberapa tahun yang lalu adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik.

Tetapi SRI sampai kini masih belum juga mendapat respon positif secara luas dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya. Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini.
Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.

Tawaran solusi yang lebih praktis yang perlu dipertimbangkan dan sangat mungkin untuk dapat diterima dan diterapkan oleh masyarakat petani kita untuk dicoba, yaitu:

""BERTANI DENGAN SISTEM GABUNGAN SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS (EM16+), PUPUK ORGANIK AJAIB (SO/AVRON/POC), AGEN HAYATI PENGENDALI HAMA TANAH GLIO DAN AGEN HAYATI PENGENDALI HAMA TANAMAN BVR, DENGAN POLA TANAM JAJAR GOROWO"



POLA TANAM JAJAR GOROWO

Kata “gorowo” diambil dari bahasa Jawa yaitu “lego”, “jero” dan “dowo”. Lego artinya luas/lebar, jero artinya dalam dan dowo artinya panjang. Teknologi jajar gorowo merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak tanam antar rumpun dan antar barisan sehingga terjadi pemadatan rumpun padi dalam barisan dan melebar jarak antar barisan dan diselang dengan parit/selokan sehingga seolah-olah rumpun padi berada dibarisan pinggir dari pertanaman yang akan memperoleh manfaat sebagai tanaman pinggir. Cara tanam padi pola tanam jajar gorowo merupakan rekayasa teknologi yang ditujukan untuk memperbaiki produktivitas usaha tani padi. Teknologi ini merupakan perubahan dari teknologi jarak tanam tegel menjadi tanam jajar legowo dan disempurnakan menjadi tanam jajar gorowo.

Media tanam dalam bentuk bedengan tidak digenangi air, tetapi tinggi air pada parit/selokan sama atau sedikit lebih rendah dari permukaan tanah bedengan. Bibit ditanam pada usia muda (6 – 10 hss) dan satu bibit untuk satu titik tanam.

Selamat mencoba dan terimakasih,
omyosa@gmail.com; 02137878827